Pendiri Telegram, Pavel Durov, baru-baru ini menyuarakan keprihatinan mendalamnya tentang masa depan Prancis.
Dalam sebuah wawancara dengan media Prancis Le Point, Durov memperingatkan bahwa Prancis berisiko mengalami keruntuhan sosial jika terus melanjutkan kebijakan sensor dan regulasi yang ada. Ia secara terang-terangan mengkritik pilihan politik Presiden Emmanuel Macron, menyatakan kekecewaannya dan menganggap Prancis semakin melemah.
“Emmanuel Macron tidak membuat pilihan yang tepat. Saya sangat kecewa. Prancis semakin lemah dan lemah,” kata Durov dalam cuplikan terjemahan dari wawancara dengan media Prancis Le Point. Durov menambahkan:
“Jika kita membesarkan satu atau dua generasi dengan pola pikir tertentu, maka dibutuhkan puluhan tahun untuk mengubahnya. Jika kita terus membuang-buang waktu, risiko bahwa negara ini harus mengalami perubahan yang sangat ekstrem akan semakin besar.”
Durov menyoroti bahaya menunda reformasi yang diperlukan, yang pada akhirnya dapat memicu perubahan ekstrem atau bahkan kolaps. Ia juga menyinggung fenomena “brain drain” di mana talenta-talenta Prancis beralih ke yurisdiksi lain seperti Dubai, sebuah indikasi bahwa kebijakan saat ini kurang mendukung inovasi dan kebebasan.
Komentar ini muncul setelah Durov sendiri sempat menjadi sorotan global menyusul penangkapannya di Prancis pada Agustus 2024. Insiden tersebut memicu gelombang kecaman dari komunitas kripto, aktivis hak sipil, dan yayasan hak asasi manusia, yang memandang kasus Durov sebagai ancaman terhadap kebebasan berbicara dan berekspresi di era digital.
Durov juga mengungkapkan klaim bahwa intelijen Prancis pernah memintanya untuk menyensor konten pro-konservatif terkait pemilihan presiden Rumania 2025, sebuah permintaan yang ia tolak. Baginya, undang-undang seperti Digital Services Act Uni Eropa adalah “kuda Troya” yang menyamarkan sensor di balik regulasi perlindungan konsumen dan upaya melawan misinformasi.